Sayyidah Zainab…

Kesabarannya seperti permata yang menghiasi jiwanya

Sayyidah Zainab al-Kubra tumbuh dan berkembang di rumah tempat para malaikat berlalu lalang. Di rumah tempat nama-nama suci Allah selalu dikumandangkan, yang para penghuninya merupakan pengejawantahan segala kesempurnaan, kezuhudan, keberanian, kedermawanan, ahklak mulia, penghambaan, keadilan dan segala sifat sempurna lainnya. Kakeknya Rasulullah SAW yang merupakan manusia paling sempurna di alam semesta dan penghulu para nabi cukup memberikan pengaruh positif pada pertumbuhan kepribadian beliau. Nabi Muhammad SAW senantiasa memperhatikan para putra dan putri Sayyidah Fatimah Zahra dengan sepenuhnya serta mengasihi mereka.

Sayyidah Zainab al-Kubra demikian Rasulullah SAW memberi Gelar kepada cucunya dengan al-Kubra yang berarti yang besar atau agung. Sayyidah Zainab merupakan anak dari Sayyidah Fatimah Az-Zahra (Putri Rasulullah SAW) dan Sayyidina Ali Karramallah Wajhah, saudara -saudara Sayyidah Zaenab bernama Sayyidina Hasan dan Sayyidana Husain. Ketika Sayyidah Zainab yang Lahir tanggal 5 Jumadil Awal tahun 6 Hijriyah, Rasulullah SAW menggendong Zainab sambil menangis hingga bercucuran air matanya sambil berkata “Wahai putriku Fatimah ketahuilah bahwa cucuku ini akan ditimpa berbagai musibah dan menghadapi banyak cobaan”, begitupun sewaktu Malaikat Jibril berkunjung ke rumah Rasulullah SAW dan melihat Zainab cucu Rasulullah SAW, Malaikat jibril pun ikut menangis “Aku sedih melihat anak ini yang akan menyaksikan dan mengadapi berbagai macam cobaan dan musibah.” kata Jibril. Demikian Ramalan yang telah digambarkan Rasulullah SAW.

Salah satu gelar termasyhur beliau ialah ‘Aqiilah’. Ibnu Duraid dalam karyanya ‘Jamharotul Loghah’ berkata: “Fulanah Aqiilatul qaum berarti perempuan itu ialah perempuan paling mulia dari kaumnya.” Terdapat kisah tentang Sayyidah Zainab dalam berbagai sumber yang mengisyaratkan tentang kesempurnaan akal beliau. Dalam sejarah disebutkan bahwa pada suatu hari Sayyidah Zainab yang masih kecil bertanya kepada ayahnya, “Ayahku sayang, apakah engkau mencintaiku?” Kemudian Imam Ali menjawab: “Bagaimana mungkin aku tidak mncintaimu, kau adalah buah hatiku”. Lantas beliau berkata lagi: “Ayahku sayang, kecintaan hanyalah untuk Allah SWT sementara kasih sayang untuk kita”. Dalam riwayat lain pula dijelaskan bahwa suatu hari Imam Ali mendudukkan putrinya Zainab al-Kubra dipangkuannya lalu beliau mengelus-ngelus kepalanya seraya berkata: “Putriku sayang, katakan satu.” “Satu,” timpal beliau. Kemudian Imam Ali melanjutkan ucapannya: “Putriku sayang, katakan dua”. Namun Sayyidah Zainab  diam tidak menjawabnya. Lalu Imam Ali mengulangi ucapannya seraya berkata: “Berkatalah wahai cahaya mataku”. Sayyidah Zainab menjawab: “Ayahku sayang, aku tidak dapat mengatakan dua dengan lidahku yang dengannya aku katakan satu.” Mendengar hal itu lantas Imam Ali memeluknya dan menciumnya dengan penuh rasa haru. Kisah di atas menunjukkan kematangan dan kemampuan daya pikir lebih yang dimiliki oleh Sayyidah Zainab . Padahal beliau kala itu masih kanak-kanak. Dalam usia dini beliau dapat memahami bahwa ketika beliau telah mengatakan Tuhan itu Esa maka beliau tidak dapat mengatakan  Tuhan itu dua. Dengan kata lain beliau telah memahami kontradiksi antara konsep monoteisme dengan dualisme. Inilah salah satu perwujudan gelar ‘aqiilah (sangat berakal)’ yang disandang Sayyidah Zainab al-Kubra, berupa kematangan dan kecerdasan akal tinggi. 

Keutamaan lain yang dimiliki Sayyidah Zainab ialah beliau memiliki ilmu tanpa ada yang mengajari. Imam Ali Zainal Abidin berkata: “Wahai bibiku…dan engkau, alhamdulillah, berilmu tanpa ada yang mengajarimu dan memahami sesuatu permasalahan, tanpa ada yang memahamkannya/menerangkannya.”

Ilmu merupakan salah satu sumber kesempurnaan, kemuliaan, derajat tinggi bagi manusia sehingga Islam selalu memerintahkan kepada umatnya untuk menuntut ilmu. Beliau merupakan salah satu perwujudan hadis Rasulullah SAW yang berbunyi: “Ilmu adalah cahaya yang disematkan Allah SWT pada hati orang-orang yang dikehendaki-Nya”.Dalam sejarah disebutkan bahwa ketika Sayyidah Zainab bersama keluarganya tinggal di Kufah di masa pemerintahan Imam Ali, para lelaki penduduk Kufah mendatangi Imam Ali dan memohon kepada beliau supaya putrinya, Sayyidah Zainab, mengajarkan ilmu-ilmu agama kepada istri dan anak-anak perempuan mereka. Imam Ali menerima permohonan tersebut dan Sayyidah Zainab pun mengajari mereka. Sejarah membuktikan dalam tempo empat tahun atau lebih, banyak para perempuan yang berguru dan belajar kepada beliau. Pada suatu hari Imam Ali mendengar Sayyidah Zainab mengajarkan tafsir huruf-huruf muqatha’ah (yang terpotong-potong) dari al-Qur’an. Khususnya tentang huruf permulaan surat Maryam, yaitu huruf “Kaaf, Haa, Yaa, Ain Shaad”. Seusai mengajar, Imam Ali mendatangi beliau dan berkata kepadanya: “Wahai cahaya mataku, tahukah bahwa huruf-huruf ini (Kaaf, Haa, Yaa, Ain, Shaad) merupakan kunci rahasia peristiwa yang akan menimpa engkau dan saudaramu Husain di padang Karbala?” Setelah itu lantas Imam Ali menjelaskan secara terperinci kepada beliau tentang tragedi Asyura yang akan menimpanya.

Derajat keilmuan beliaupun telah terbukti ketika beliau berdebat dan berdialog dengan Ibnu Ziyad di Kufah. Beliau menjawab dengan tangkas segala pernyataan Ibnu Ziyad. Sampai akhirnya Ibnu Ziyad marah kepadanya, karena setiap ia berkata Sayyidah Zainab dengan tangkas akan mematahkan segala argumennya. Sampai akhirnya Ibnu Ziyad  tidak mampu lagi berdialog dengannya dan berkata; “Sumpah demi Tuhan, perempuan ini penyair dan pandai berbicara seperti ayahnya”. Begitu pula  khutbah-khutbah beliau lainnya yang disampaikan di Kufah maupun di Syam.  

Sejarah juga telah mencatat ibadah beliau digelari dengan (‘Abiidah) yang artinya banyak beribadah. Ibadah wajib maupun nafilah yang tidak pernah beliau tinggalkan meskipun dalam kondisi sulit.  Bahkan pada malam Asyura beliau menghabiskan waktunya dengan shalat malam dan bermunajat kepada  kekasih sejatinya, Allah SWT. Ketika menggambarkan maqam ubudiyyah Sayyidah Zainab, Imam Ali Zainal Abidin berkata: “Sesungguhnya bibiku Zainab telah mendirikan shalat wajib dan nafilahnya dalam keadaan berdiri. Namun kadang-kadang di sebagian rumah beliau lakukan dalam keadaan duduk. Ketika aku menanyakan sebabnya beliau menjawab: Aku melaksanakan shalat sambil duduk karena rasa lapar dan lemah yang amat sangat. Sebab selama tiga malam aku telah memberikan bagian makananku kepada anak-anak. Dalam sehari semalam, mereka hanya memakan sepotong roti”. Peristiwa ini terjadi ketika Sayyidah Zainab berada dalam kondisi tertawan dan diarak dari Kufah menuju Syam. Teriknya matahari dan dinginnya malam telah menyiksa beliau dan rombongan tetapi beliau tidak meninggalkan shalat malamnya dalam kondisi sesulit itu.

Gelar sebagai Orator Ulung juga bisa disematkan pada beliau. Hal ini dapat kita lihat dalam khutbah beliau baik yang disampaikan di Kufah maupun di hadapan Yazid bin Muawiyah di Syam. Ketika beliau menyampaikan khutbahnya di hadapan penduduk Kufah, khutbah beliau mengingatkan orang-orang akan ayahnya, Imam Ali. Mereka melihat seakan-akan Imam Ali sendiri yang sedang berkhutbah. Kata-katanya yang indah dan isinya yang begitu mengena sehingga para pendengar menangis dan hanyut dalam kesedihan setelah mendengarnya. Begitupula khutbah beliau di hadapan Yazid bin Muawiyah di Syam yang mampu mengubah opini umum. Para audiens terpesona dengan khutbah-khutbah yang disampaikan Sayyidah Zainab, baik dari sisi isi khutbah maupun ungkapannya, jika orang yang ahli dalam bahasa Arab menelaah khutbah-khutbah Sayyidah Zainab, ia akan memahami dan menikmati keindahan bahasa beliau. Kelebihan beliau dalam kefasihan dan kebalighan ini diwarisi dari kedua orang tua beliau, Imam Ali dan Sayyidah Zahra.

Buku-buku sejarah sepakat bahwa Sayyidah Zainab adalah wanita pertama dalam Islam yang ikut berperan dalam panggung politik. Namanya selalu disebut bersamaan dengan tragedi Karbala, salah satu peperangan yang sangat mengerikan dalam sejarah Islam. Tidak ada seorangpun yang mengingkari posisi Sayyidah Zainab dalam tragedi tersebut. Bahkan ada yang menamakannya sebagai Pahlawan Karbala, karena ia adalah satu-satunya wanita yang melindungi para tawanan yang terdiri dari keluarga Bani Hasyim. Dalam posisi genting tersebut, ia siap mengorbankan jiwanya demi membela seorang anak kecil yang sedang menderita, Ali Zainal Abidin bin Husain. Dari peristiwa inilah ia disebut sebagai Ummu Hasyim. Bahkan sebagian sejarawan menambahkan bahwa sikap Sayyidah Zainab setelah peperangan itulah yang menjadikan Karbala sebagai tragedi yang terus dikenang.

Zainab tumbuh dalam asuhan kakeknya, Rasulullah SAW. Akan tetapi menjelang umurnya genap lima tahun, Rasulullah SAW. dipanggil Allah SWT. Sepeninggal Rasulullah SAW. hari-harinya diliputi kesedihan. Ibunya, Fatimah radiallahu anha, tercatat tidak pernah tersenyum setelah kejadian tersebut. Bahkan dalam catatan sejarah, Fatimah bintu Rasulillah sallallahu alaihi wasallam, terhitung sebagai salah seorang tokoh yang paling banyak menangis, yang semuanya terdiri dari enam tokoh. Keenam tokoh tersebut adalah Adam as karena penyesalannya, Nuh as karena kaumnya, Ya’kub as karena anaknya Yusuf as, Yahya as karena takut dari api neraka dan Fatimah radiallahu anha karena kematian ayahnya. Kemudian setelah beberapa bulan, Fatimah radiallahu anha, menyusul ayahnya ke pangkuan Ilahi.

Demikianlah, perjalanan hidup Sayyidah Zainab dilalui dengan kesedihan, karena kematian dua orang yang paling ia cintai. Dan pada waktu yang sama, ia harus bertanggung jawab atas saudara-saudaranya, Hasan, Husain dan Ummu Kultsum, sehingga ia pun berposisi sebagai ibu pengganti bagi mereka. Suami Zainab adalah anak pamannya sendiri, Abdullah bin Ja’far. Sejarah menyebutkan bahwa ia adalah orang yang terhormat dan mempunyai kedudukan tinggi di kalangan orang-orang sezamannya, baik dari pihak Bani Hasyim maupun dari Bani Umayyah. Ia juga dikenal dengan sifat muru`ah, dermawan, akhlak terpuji dan watak yang baik. Hingga karena kedermawanannya ia dijuluki dengan Quthbus Sakhaa` (Pusat Kederwananan).

Ketika Sayyidah Zainab mencapai usia perkawinan, beliau kemudian menikah dengan Abdullah bin Ja’far saudara misannya. Abdullah dikenal sebagai orang kaya Arab. Namun Sayyidah Zainab menjadi isterinya bukan karena hartanya. Ketinggian derajatnya membuat beliau tidak membatasi dirinya dalam kehidupan lahiriah. Beliau telah belajar untuk tidak pernah mengorbankan hakikat dalam kondisi apa pun. Itulah mengapa Sayyidah Zainab senantiasa bersama saudaranya Imam Husain demi menghidupkan kembali agama dan spiritual manusia serta berusaha untuk memperbaiki masyarakat.

Sayyidah Zainab sewaktu menikah dengan suaminya Abdullah mensyaratkan untuk bisa tetap bersama saudaranya Imam Husain. Abdullah menerima syarat tersebut dan menikahi cucu Rasulullah SAW ini. Dengan syarat inilah Sayyidah Zainab dapat mengikuti perjalanan bersejarah Imam Husain dari kota Madinah hingga Karbala dan bangkit menghadapi Yazid penguasa zalim dan korup. Riwayat menyebutkan bahwa dari perkawinannya dengan Abdullah bin Ja’far, Sayyidah Zainab mempunyai dua orang putra, yaitu Ja’far dan Ali, dan dua orang putri, yaitu Ummu Kultsum dan Ummu Abdillah.

Sayyidah Zainab pernah mendengar dari ayahnya Imam Ali  bahwa “Manusia tidak akan pernah mampu mengenal hakikat iman tanpa memiliki tiga hal dalam dirinya; pengetahuan akan agama, kesabaran di tengah kesulitan dan pengelolaan yang baik urusan kehidupannya.” Wanita mulia ini menerima tanggung jawab berat dan sulit, namun kesabarannya seperti permata yang menghiasi jiwanya. Menurut Sayyidah Zainab, ketegaran di jalan kebenaran dan pengorbanan di jalan Allah senantiasa indah dan selamanya bakal dipuji oleh manusia. Demikianlah setelah peristiwa Asyura, Sayyidah Zainab kepada orang-orang zalim beliau berkata, “Saya tidak menyaksikan sesuatu kecuali keindahan.”

Setelah semua peristiwa yang ia lalui, Zainab ingin menghabiskan sisa hidupnya di sisi kakeknya, Rasulullah SAW. Akan tetapi Bani Umayyah tidak menginginkan hal itu, karena keberadaannya di Madinah dapat membangkitkan kemarahan orang-orang Madinah dan mendorong mereka untuk menuntut balas. Maka gubernur Madinah memintanya untuk meninggalkan Madinah. Kemudian ia pergi ke Mesir dan sampai pada bulan Sya’ban tahun 61H sebagaimana disebutkan sebagian besar buku sejarah. Kedatangannya di Mesir pun disambut hangat oleh Maslamah bin Makhlad al-Anshari, gubernur Mesir kala itu dan oleh penduduk Mesir. Kemudian Maslamah menjamunya di rumahnya dan ia tinggal di sana sekitar satu tahun lalu meninggal pada tahun 62H.

Sungguh Sayyidah Zaenab sosok wanita yang tabah dan teguh yang patut diteladani.

Tinggalkan komentar