Kecerdasan untuk Mencari Kebenaran

Oleh: A. Kamil

Berdoa merupakan sebuah pekerjaan yang memerlukan motivasi.  Motivasi yang dimiliki oleh setiap orang yang berdoa beragam dan beraneka coraknya. Terkadang ada orang yang berdoa meminta kepada Tuhan untuk diberikan anak, istri, rumah, mobil, naik pangkat, kesehatan, kebaikan dan keselamatan. Ada juga orang yang berdoa yang memiliki motivasi yang lebih tinggi dan menjulang dari yang pertama. Doa bagi orang ini merupakan wasilah untuk meminta kepada Tuhan urusan-urusan maknawiah dan kesuksesan untuk melakukan aktifitas penghambaan. Dan yang tertinggi dari semua itu adalah orang yang berdoa karena hanya ingin bercengkerama dengan Tuhan dan mentaati perintahnya. Saya dan Anda mungkin belum mencapai tingkatan berdoa yang disebutkan belakangan. Minimal, dengan persangkaan baik, tidak terlalu bersahaja bertengger pada tingkatan berdoa golongan pertama. Semoga dengan melatih dan menempa diri di hari-hari yang suci, tidak menutup kemungkinan saya dan Anda mencapai tingkatan berdoa yang hanya ingin bercakap-cakap, curhat dan bercengkerama dengan Sang Kinasih.

Doa yang kita bahas pada kesempatan ini adalah: Permohonan kepada Allah SWT supaya dianugerahkan pikiran yang terbuka yang dengannya dibuahi kecerdasan untuk mencari kebenaran, terjauhkan dari kebodohan dan tipu-daya, dan anugerah kebaikan.

اَللَّهُمَّ ارْزُقْنِيْ فِيْهِ الذِّهْنَ وَ التَّنْبِيْهَ وَ بَاعِدْنِيْ فِيْهِ مِنَ السَّفَاهَةِ وَ التَّمْوِيْهِ

وَ اجْعَلْ لِيْ نَصِيْبًا مِنْ كُلِّ خَيْرٍ تُنْزِلُ فِيْهِ، بِجُوْدِكَ يَا أَجْوَدَ الْأَجْوَدِيْنَ

Ya Allah, anugerahkanlah kepadaku di bulan ini pikiran dan kecerdasan, jauhkanlah aku di bulan ini dari kebodohan dan kesesatan, dan limpahkanlah kepadaku sebagian dari setiap kebajikan yang Engkau turunkan di bulan ini. Dengan kedermawanan-Mu, wahai Zat Yang Lebih Dermawan dari para dermawan.

Tiada yang melebihi nikmat akal yang dimiliki manusia. Akal dan pikiran merupakan keindahan manusia dan modal bagi kehidupan dan penghambaan. Akal yang cerdas merupakan pelita dan media penyelamat. Akal yang terbebas dari kebimbangan, keragu-raguan, memiliki kesiapan ekstra dalam menerima pelbagai hakikat dan meraup nasihat serta wejangan.

Tatkala manusia ingin beribadah dan mentaati Allah SWT ia memerlukan pengetahuan yang menjulang dan makrifat yang menukik serta pikiran yang tajam. Apabila manusia tidak terjaga dan tajam pikiran ia terlena dalam gelapnya kebodohan dan kedunguan. Dalam kondisi seperti ini, ia tidak dapat menuruti titah Tuhan. Bukankah dalam sebuah hadis disebutkan bahwa “Tuhan tiada disembah dengan kebodohan.”

Hamba yang baik adalah hamba yang cerdas, berpengetahuan, berpikir tajam, memahami dengan baik dan mengetahui apa yang menjadi tugas-tugasnya. Pada hari ini kita memohon kepada Allah SWT supaya dianugerahkan akal dan kecerdasan sehingga dengan bekal yang berharga itu kita dapat mengabdi kepada-Nya.

Dzihn (pikiran) dan Tanbih (kecerdasan) adalah dua hal yang saling bertautan. Yang pertama merupakan mudrik (media untuk mencerap) dan yang kedua merupakan mudrak (yang tercerap). Dzihn merupakan kekuatan pencerap yang dimiliki manusia. Dimana apabila ia tidak memiliki mudrik, ia tidak mampu mencerap apapun. Tanbih kondisi yang dijumpai dari media ini. Ketika pikiran beroperasi, ia memperoleh kecerdasan berupa pengetahuan dan makrifat. Namun bagaimana kita dapat senantiasa memperoleh pikiran tajam dan kecerdasan seperti ini? Kita memohon kepada Allah SWT, dan Dia pasti akan memberikan namun dengan beberapa syarat tertentu. Iman yang menghasilkan visi yang jelas. Ketakwaan yang mewujudkan optimisme.  Hadis nabawi menyatakan demikian: “Takutlah kalian akan firasat Mukmin karena ia melihat dengan cahaya Tuhan.” (Mizân al-Hikmah).

Pikiran yang tajam dan kecerdasan merupakan anugerah yang sangat besar dan penuh berkat yang kita pinta dari Tuhan dalam doa ini. Apabila kedua nikmat besar ini tidak ada, maka tidak akan kita jumpai, optimisme, visioner, engineer masa depan?

Apabila kita meminta kepada Tuhan dua pelita benderang ini maka kita harus mengenyahkan segala noda yang mengkontaminasi akal dan jiwa sehingga pelita pikiran dan lentera kecerdasan dapat menerangi jalan yang kita tuju. Apabila tidak, “Menjadi budak hawa nafsu menutupi cahaya akal budi dan menenggelamkan surya kecerdasan.”

Suatu waktu Allamah Hasan Zadeh Amuli Hf ditanya ihwal riwayat dari Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib yang bersabda: “Man lam Yuhadzib Nafsah, Lam Yantafi’ bil ‘Aql (Barang siapa yang tidak melakukan tahzib nafs [pengelokan jiwa], maka ia tidak mendapatkan manfaat dari akalnya), apakah ada hubungan takwini antara tahzib nafs dan intifa’ al-Aql seperti yang disinyalir dalam hadis ini? Allamah menjawab: “Memang terdapat hubungan takwini antara keduanya. Coba tengok orang-orang seperti Musailamah bin Kadzadzab dimana ia merupakan seorang alim namun ia tidak melakukan tahzib an-nafs, lihat bagaimana kesudahannya. Ia memiliki akal namun tidak mengambil manfaat dari akalnya. Akal yang dengannya Tuhan disembah dan melaluinya surga dicapai.

وَ بَاعِدْنِيْ فِيْهِ مِنَ السَّفَاهَةِ وَ التَّمْوِيْهِ

“Dan jauhkanlah aku di bulan ini dari kebodohan dan kesesatan.”

Kebodohan merupakan akar segala kejahatan. Bodoh dan kebodohan pertanda tiadanya cahaya, sebagaimana ilmu merupakan cahaya maka kebodohan merupakan kegelapan. Kesulitan yang dihadapi oleh sebuah kaum bersumber dari kebodohan mereka. Kebodohanlah yang menyeret masyarakat kepada kegelapan. Kita memohon kepada Allah SWT supaya kita terjauhkan dari kebodohan dan kesesatan.

Safih (bodoh) adalah lawan kata dari hakim dan cendekia dan safahat merupakan kontra hikmah dan akal. Tamwih adalah kelicikan, berpura-pura, penuh trik. Tamwih bersumber dari kebodohan dan kedunguan. Dalam mengurai makna safahat disebutkan bahwa maknanya adalah pekerjaan yang tidak masuk akal, berpikir tidak tertata, berkata-kata tanpa dipikirkan terlebih dahulu. Tamwih, mengemasi barang palsu sebagai barang asli, memperlihatkan sesuatu sebagai kebenaran tetapi sejatinya kebatilan, memamerkan loyang sebagai emas, menyuguhkan bubur sebagai tinja. Imam Mujtaba  pernah ditanya ihwal safahat,  jawabnya: “Orang yang mengejar yang rendah dan menyesatkan sahabatnya.” (Bihârul Anwâr) Dalam sebuah hadis disebutkan bahwa: “Kebodohan merupakan senjata orang-orang dungu, kendaraan kejahatan dan kunci kebencian.”

Orang dungu dalam ucapan dan perbuatan, dalam pikiran dan tindakan, dalam pergaulan dan interaksi sosial adalah orang-orang yang terlelap dan penuh fantasi, penuh harapan-harapan yang tak akan kunjung terpenuhi.

Mukmin yang berakal memohon kepada Allah SWT kiranya dijauhkan dari kedua kejelekan ini dan hidup dalam pancaran cahaya akal, visi (bashirat) dan hikmat.

Imam Ridha bersabda: “Sahabat bagi setiap orang adalah akalnya dan musuhnya adalah kedunguannya.” Imam ‘Ali bersabda: “Kebodohan merupakan penyakit yang paling buruk.” Lagi dari lisan suci Imam ‘Ali: “Kebodohan merupakan akar segala kejahatan.” “Sekiranya para hamba berhenti tatkala ia tidak tahu maka ia tidak akan kafir dan tersesat.”

Iya dalam safahat terpendam kedunguan, adapun tamwih merupakan penyalahgunaan akal yang menyesatkan masyarakat, penuh dusta dan tipu-daya.

Syahdan sekelompok pendukung Muawiyah mengejek dengan membanding-bandingkan Imam Ali dan Muawiyah bahwa Muawiyah dalam urusan politik lebih lihai dan cerdik ketimbang Imam Ali. Mendengar hal ini, Imam Ali berkata: “Sekiranya kalau bukan karena takwa, maka akulah orang yang paling lihai dan cerdik berpolitik di dunia Arab.” Politik yang diterapkan oleh Muawiyah adalah jenis penggunaan tamwih. Berpura-pura dalam jubah kesalehan dan takwa namun menikam Islam dari dalam. Tentu politik yang diseru Imam ‘Ali adalah bukan politik abad jahiliyah ala Mu’awiyah yang mengedepankan al-ghaya tubarrir al-wasilah atau di zaman modern politik the end justifies the means ala Macheavelli yang serba menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan. Politik yang jauh dari bau dan semerbak takwa.  Pada musim-musim pemilihan CAPRES/CAWAPRES, politik semacam ini ramai dipraktikkan orang dimana-mana. Menurut orang-orang seperti ini berpolitik adalah the art of possiblity. Segalanya serba mungkin, dengan trik dan tipu-daya kalau perlu.

وَ اجْعَلْ لِيْ نَصِيْبًا مِنْ كُلِّ خَيْرٍ تُنْزِلُ فِيْهِ

Dan limpahkanlah kepadaku sebagian dari setiap kebajikan yang Engkau turunkan di bulan ini.

Seorang Mukmin pada setiap keadaan akan bersikap qanaah. Dalam menuntut kebaikan itu pun dari sumber kebaikan dan mata-air emanasi ia tidak puas dan ingin setiap kebaikan yang diturunkan Tuhan ia ingin mengambil saham dan bagian.

Keinginan ini menandaskan keluasan pandangan dan ketinggian spirit seorang pendoa. Tatkala sosok di hadapan yang kita pintai, Tuhan yang merupakan samudera kedermawanan dan kepemurahan. Keagungan Tuhan menuntut bahwa apa yang kita minta juga harus merupakan sesuatu yang agung. Di bawah kolong langit ini, terdapat banyak orang yang menengadahkan tangannya meminta kepada Tuhan. Kita pun di hari  ini dan di saat ini juga ikut dalam barisan orang-orang tersebut mengulurkan tangan kepada Tuhan untuk meminta saham dari segala kebaikan yang diturunkan di muka bumi. Segala keindahan, keagungan, kesempurnaan yang merupakan kebaikan kiranya diberikan kepada kita di hari ini. Menjalankan puasa, menegakkan shalat, meraih keridhaan Tuhan, mendapatkan taufik membaca ayat tadwini dan takwini, anugerah pikiran yang tajam dan kecerdasan, seluruhnya merupakan kebaikan (di samping kebaikan-kebaikan lainnya) dari Tuhan di bulan ini.

، بِجُوْدِكَ يَا أَجْوَدَ الْأَجْوَدِيْنَ

Kita memohon kepada Zat Yang Mahadermawan dan fayyadh mutlak yang tiada melebihi dan mengungguli kedermawanannya. Kedermawanannya tidak mengurangi rahmat-Nya. Kepemurahan-Nya tidak membuat orang merasa berhutang-budi atau jasa. Pemberian-Nya tanpa pamrih tidak sebagaimana makhluknya memberi. Manusia sebagai makhluk tatkala memberikan sesuatu berharap sesuatu sebagai imbalannya. Namun Tuhan Mahadermawan dan Kedermawanan adalah sifatnya. Di penghujung doa ini kita ingin menyampaikan bahwa Tuhanku aku tidak akan bakhil, aku ingin memberikan manfaat dan berlaku kebaikan kepada orang lain. Aku ingin mencapai derajat jud (dermawan) tanpa adanya sifat ini sekali-kali aku tidak akan sampai pada Yang Mahadermawan. Tuhanku tanamkan pada diriku sifat dermawan sehingga menjadi pancaran sifat jawâd-Mu. Amin Yaa Rabbal Alamin ..

Tinggalkan komentar