Me-MUHAMMAD-kan Diri

Me-MUHAMMAD-kan Diri

(Sebuah Refleksi Kerinduan pada Sang Nabi)

Muhammad Jawodiy

Sungguh, hati muslim dipatri cinta Nabi

Dialah pangkal kemuliaan, sumber bangga kita semua

Dia tidur diatas tikar kasar, sedangkan umatnya tidur di ranjang raja-raja

Inilah pemimpin bermalam-malam terjaga, sedangkan umatnya mengguncang tahta Kisra

Di gua Hira’ ia bermalam sehingga tegak bangsa, hukum dan negara

Kala shalat, pelupuk matanya tergenang air mata

Di medan perang, pedangnya bersimbah darah

Dibukanya pintu dunia dengan kunci agama

Duhai ……., belum pernah insan melahirkan putra semacam dia.

Diantara sosok manusia agung dan suci yang pernah hidup dalam sejarah manusia adalah Nabi Muhammad SAW. Keagungannya terbentuk karena perpaduan harmonis antara nilai rububiyah Ilahi dengan semangat pembelaan terhadap kemanusiaan. Namun tokoh besar ini sering dipahami secara keliru. Oleh karena itu, sejarah kelahirannya, di antaranya yang diterima oleh masyarakat telah mengalami reduksi yang sedemikian rupa.

Banyak tokoh di dunia ini yang dikagumi, namun tak ada yang seperti Nabi Muhammad SAW. Yang namanya selalu disebut kaum muslimin dalam setiap jejak sajadah terbentang. Tanpa menyebut namanya, ibadah tersebut menjadi sia-sia, dan hanya sekedar gerakan-gerakan lahir tanpa makna ruhani. Menurut Qadhi ‘Iyad, Muhammad SAW adalah manusia yang Allah telah meninggikan derajatnya dan memberinya kebajikan-kebajikan, sifat-sifat terpuji dan hak-hak istimewa tertentu. Dia telah meninggikan derajat dengan cara begitu mengagumkan, sehingga tak sepotong lidah atau pena pun yang cukup memadai untuk menuliskannya. Apa yang ditulis Qadhi ‘Iyad adalah suatu ungkapan yang merupakan wujud demi cintanya kepada Nabi SAW. Ia mengetahui bahwa kehadiran Muhammad SAW ini merupakan rahmat bagi semesta alam, dan tanpa kehadirannya alam ini akan terus berada di dalam kegelapan peradaban. Dengan kehadirannya alam ini menjadi tercerahkan baik secara spiritual maupun intelektual.

Lantas bagaimana kita memaknai peringatan Maulid Nabi dan siapakah Nabi Muhammad SAW? Apakah pantas kita mengatakan bahwa Nabi SAW, sama dengan kita hanya karena beliau seorang manusia? Kemudian bagaimana kita bisa meneladani akhlak mulia beliau? Kita akan mencoba menguraikannya dalam ruang terbatas ini, meskipun hanya secara singkat dengan kemampuan yang terbatas pula.

Kedudukan Rasulullah SAW dalam Al-Quran

Sedemikian tingginya kedudukan Rasulullah SAW sehingga bisa dikatakan bahwa tidak ada seorang pun manusia yang dapat menggambarkannya dengan sempurna. Karena itu, jika memang demikian, maka tidak ada cara lain kecuali kita kembali kepada Al-Quran untuk melihat bagaimana Allah SWT memandang Nabi kita Muhammad SAW.

Dalam Al-Quran Allah SWT berfirman : “Dan rahmat-Ku meliputi segala sesuatu.” (QS. Al-A’raf :156). Ketika Allah SWT menyebut Rasul-Nya maka Dia pun menisbatkan rahmat itu padanya, dimana Allah berfirman : “Dan Kami tidak mengutusmu (hai Muhammad) kecuali untuk menjadi rahmat bagi alam semesta.” (QS. Al-Anbiya’: 107). Tentu setiap orang akan merasa heran, sebab maqam rahmat yang merupakan milik Allah ternyata diberikan-Nya juga pada Nabi-Nya. Lalu, salah satu sifat Allah SWT yang terdapat dalam Al-Quran adalah sifat ghaniy (Yang Maha Kaya), sedangkan makhluk-makhluk yang lain faqir (butuh) kepada Allah, seperti firman-Nya : “Kalian (semua) membutuhkan Allah sedangkan Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji.”(QS. Al-Fathir : 15). Ghina (kekayaan) juga termasuk sifat Allah namun dalam surah At-Taubah, Allah pun memberikannya kepada Nabi SAW, “Dan mereka tidak mencela (Allah dan Rasul-Nya), kecuali karena Allah dan Rasul-Nya telah melimpahkan karunia-Nya kepada mereka.”(QS. At-Taubah : 74). Begitu juga sifat ar-ra’uf ar-rahim yang merupakan sifat Allah, lagi-lagi diberikannya pada Rasul-Nya sebagaimana firman-Nya : “Sungguh telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin.”(QS. At-Taubah : 128).

Allamah Sayyid Kamal Haidari menjelaskan secara mendalam dua poin dalam Al-Quran yang sangat penting dan menunjukkan bagaimana sesungguhnya posisi Nabi Muhammad SAW. Pertama, “Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya.”(QS. Al-Baqarah : 31). Kedua, “Kemudian mengemukakannya kepada para Malaikat lalu berfirman:”Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu memang betul orang-orang yang benar!”(QS. Al-Baqarah : 31). Dua poin dari ayat yang penuh berkah ini menjelaskan kepada kita bahwa Adam belajar langsung dari Allah SWT karena pelaku (fa’il) dalam ayat “wa allama” (mengajarkan) adalah Allah SWT. Sebab poin kedua berbunyi: Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu (anbi’hum biasmaaihim). Jadi antara Allah dan Adam tidak ada perantara (wasithah) tapi Adam-lah yang menjadi perantara antara Allah dan para malaikat. Dalam ayat tersebut terdapat dua kekhususan penting. Pertama, bahwa maujud (eksistensi) ini belajar langsung dari Allah SWT dan tidak diperantarai makhluk lain. Kedua, bahwa maujud ini menjadi perantara antara Allah dan para malaikat.

Hal penting lainnya kata Sayyid Kamal Haidari ialah : siapakah yang dimaksud Adam dalam ayat tersebut? Mungkin sebagian besar kita mengira bahwa Adam yang dimaksud adalah Adam Bapak Manusia (Abul Basyar). Jawabnya sama sekali tidak! Yang dimaksud Adam dalam ayat: “Wa’allamal Adama asma’a kullaha” bukanlah Adam Abul Basyar. Karena Al-Quran ketika menyebut Adam maka ia berkata seperti ini: “Kami telah membuat perjanjian dengan Adam sebelumnya lalu ia lupa dan Kami tidak mendapatinya memiliki keteguhan yang kuat.” Lalu apakah Adam ‘yang seperti tersebut’ dapat menjadi perantara, antara Allah dan Nabi SAW? Tentu penafsiran dan makna ini sulit diterima. Oleh karena itu, Al-Quran Al-Karim ketika mengisyaratkan Adam, maka ia mengisyaratkan kepada dua Adam. Ada Adam fil Mulki atau Adam Abul Basyar, yaitu di alam kita. Namun ada Adam yang disebut Adamul malakuti. Adam ini adalah makhluk yang pertama, namun bukan di alam ini tapi di alam malakut, sebelum alam ini. Sayyid Kamal Haidari menjelaskan hakikat ini bahwa yang penting diketahui adalah maujud ini menerima ilmu langsung dari Allah dan kemudian menjadi perantara Allah dan para malaikat-Nya. Dan ketika malaikat diberitahu oleh Adam ini maka mereka tahu bahwa makhluk ini lebih mulia daripada mereka. Lalu apa yang terjadi selanjutnya? Firman-Nya: “Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat: ‘Sujudlah kamu kepada Adam’, maka sujudlah mereka kecuali iblis, ia enggan dan takabur dan adalah ia termasuk golongan orang-orang yang kafir.”(QS. Al-Baqarah: 34). Makhluk dan maujud ini dengan ilmu yang diperolehnya layak mendapatkan sujudnya para malaikat. Yang dimaksud sujud di sini adalah ketundukan (khudu’) yaitu, para malaikat tunduk kepada insan kamil ini. Bagian terpenting dari penjelasan ini, kita bisa menyingkap hakikat yang fundamental, yaitu bahwa wujud Nabi Terakhir, yakni wujud malakuti atau hakikat nurnya adalah ciptaan yang pertama kali diciptakan oleh Allah SWT. Kemudian Allah mengajarinya dan menjadikannya washithah (perantara) antara Allah dan para makhluknya. Karena itu tidak ada satu ciptaan pun di alam ini kecuali berasal dari “tetesan” Nabi SAW dan tidak ada sesuatu pun yang naik menuju Allah kecuali lewat dari sisi eksistensi Nabi SAW. Jabir bin Abdillah bertanya: “Ya Rasulullah, apa ciptaan yang pertama kali diciptakan oleh Allah? Rasul menjawab: “Wahai Jabir, sesuatu yang pertama kali diciptakan oleh Allah adalah Nur Nabimu, kemudian darinya Dia menciptakan semua kebaikan.” Dalam riwayat juga cukup banyak yang menyatakan bahwa Nabi SAW bersabda: “Aku yang pertama kali diciptakan di antara kalian dan yang paling akhir diutus di antara kalian.” Nabi menyatakan bahwa dari sisi penciptaan, beliau adalah makhluk yang pertama kali diciptakan, namun dari sisi kemunculan di alam materi ini maka beliau adalah nabi yang terakhir diutus. Inilah maqam Nabi Muhammad SAW.

Memasyarakatkan Akhlak Muhammadi

Saat kita berbicara tentang Nabi Muhammad, maka yang terbetik dalam ingatan kita adalah kesempurnaan seorang manusia. Pribadi Muhammad SAW yang sempurna ini merupakan teladan hidup tidak hanya bagi kaum Muslim tetapi bagi seluruh umat manusia. Kejujuran, keadilan, kebenaran, kebaikan dan kasih sayangnya merambah pada semua lapisan manusia. pada seorang yang tidak beragama Islam pun, Muhammad akan tetap berlaku adil dan bijaksana. Akhlak Muhammad SAW yang agung ini telah memancar bagi segenap alam. Allah berfirman: “Dan sesungguhnya engkau (Muhammad) memiliki akhlak/budi pekerti yang luhur dan agung.”(QS. Al-Qalam : 4).

Jika kita kaum Muslimin meyakini Muhammad sebagai Rasulullah tentu kita menghadapi konsekuensi dalam mempertanggungjawabkan keyakinan itu. Ini berarti kita harus mengikuti suri teladan beliau dalam seluruh dimensi kehidupan. Karena nabi adalah uswatun hasanah, seperti yang digambarkan dalam Al-Quran, “Sesungguhnya dalam diri Rasulullah terdapat teladan yang baik bagi kamu.”(QS. Al-Ahzab : 21), maka kepatuhan kepadanya merupakan wujud kepatuhan kepada Allah. Nabi adalah representasi dari ajaran Allah itu sendiri, seperti pula yang terdapat dalam sebuah hadis, bahwa akhlak Nabi SAW adalah Al-Quran.

Namun,untuk menjalani hidup seperti Muhammad SAW memang tidaklah mudah. Sebab kita masih terbuai dengan simbol dan aspek lahiriah dari keberagamaan kita. Kita masih terpaku melaksanakan ritual-ritual hanya sekedar untuk melaksanakan kewajiban, belum mewujud sampai mencapai derajat kebutuhan, dimana jika meninggalkannya maka akan terasa ada yang hilang dalam diri kita. Kita masih belum beranjak dari pemahaman bahwa beragama itu hanyalah aspek lahir dan belum sampai pada kedalaman batin. Kita masih menganggap bahwa beragama itu sekedar pelengkap kartu identitas, tapi tidak menjadi identitas diri. Padahal jika kita ingin beragama yang benar, kita harus memahami, menghayati dan melakoni kehidupan beragama itu. Contoh sejati bagaimana kita beragama adalah dengan melihat pembawa risalah itu sendiri. Bagaimana pembawa risalah Islam, Muhammad SAW, berjuang dengan penuh kesabaran, ketawakkalan, keikhlasan dan kesungguhan dalam menegakkan menara Islam yang mau dibangunnya. Sayangnya, pribadi agung ini termentahkan dalam kubang sekularisme. Muhammad hanya hadir dalam ruang privat, jalur vertikal Tuhan dan manusia. kesuciannya ditempatkan pada langit-langit kosong, tidak membumi, dan akhirnya jatuh pada mistifikasi. Perlahan tapi pasti, terjadilah pembunuhan karakter Muhammad yang bidimensional. Matilah Muhammad yang di bumi berbaur dengan masyarakat, sederhana, teladan bijak dan pembela kaum mustdh’afin. Tidak heran, banyaknya peringatan atas kelahiran Nabi, maulid demi maulid kita lewati setiap tahunnya, tapi seolah tidak memiliki implikasi dan pengaruh yang positif dalam kehidupan kemanusiaan kita. Ritual pengkhidmatan kepada Nabi hampa dari nilai-nilai spiritualitas. Sebab yang dipuji adalah Muhammad yang di langit, yang tidak mengenal masalah dunia, bahkan tidak bertanggung jawab dengan segala urusan manusia. Terkadang justru ada juga pihak yang menolak mengakui kebesaran Nabi Muhammad dan menolak memujanya, bahkan menganggap pelakunya sebagai bertindak berlebih-lebihan dan terjebak pada kultus yang diharamkan. Hal itu terjadi karena mereka melihat Nabi Muhammad SAW dengan kacamata materi. Mereka hanya melihat Nabi SAW sebagai makhluk biologis. Mereka lupa bahwa manusia memiliki dimensi yang jauh lebih tinggi dari sekadar dimensi biologis atau fisik. Bahkan dimensi ruhani merupakan jati diri manusia yang sesungguhnya.

Terlepas dari berbagai penilaian yang keliru tersebut, Muhammad SAW memang sebuah pribadi yang istimewa. Dalam dirinya terdapat perpaduan yang menakjubkan, sufi dan negarawan, spiritualis dan aktivis sosial. Ia tidak dapat dibandingkan dengan tokoh-tokoh besar yang pernah hadir di atlas peradaban manusia. Pribadinya telah dicatat dalam segala persoalan. Penulisan prihidup Nabi hakikatnya adalah upaya peneladanan dan manual pokok perjalanan menuju Tuhan. Maka, penampilan, ucapan dan tindakan Nabi menjadi fokus gerak umatnya. Hidup Nabi adalah refleksi total penghambaan yang darinya alam semesta mendapat rahmat. Ia mewakili seluruh nama Tuhan, penampakan langsung dari “Al-Quran yang berjalan.” Dialah lambang Islam sesungguhnya. Dialah wujud Islam yang sebenarnya, dan dari dialah mengalir sumber kebenaran sejati. Dengan kebenaran yang dibawanya dan juga dengan keteladanannya, maka sesungguhnya umat Islam sudah memiliki sumber semangat dalam menegakkan nilai-nilai yang diyakininya.

Setelah kita mengetahui kedudukan  serta bagaimana  akhlak dan kepribadian Rasulullah SAW, lantas bagaimana sikap kita selanjutnya? Apakah sejarah kehidupan Rasulullah tersebut hanya kita simpan sebatas lembaran-lembaran  yang tak bermakna? Padahal esensi ajaran Islam terletak pada bagaimana dan seberapa jauh pengenalan kita pada Tuhan (ma’rifat Allah) dan Rasul-Nya (ma’rifat ar-Rasul). Pencitraan Muhammad atau Rasulullah di hati kita, akan mengungkap siapa kita sebenarnya. Karena Muhammad yang sesungguhnya adalah sosok manusia agung yang melingkupi semua dimensi kemanusiaan dengan warna-warna Ilahiah. Dan karenanya keberadaannya sama dekatnya dengan nadi kehidupan manusia. Maka sejatinya, pembumian nilai-nilai akhlak muhammadi yang menjadi tema sentral gagasan perubahan peradaban Muhammad, akan menentukan keselamatan hidup kita nanti. Sebagai pecinta Muhammad, maka sudah sepantasnya kita semua bertekad menjadikan diri kita sebagaimana Muhammad. Mari me-MUHAMMAD-kan diri kita.

Tinggalkan komentar